Kamis, 24 Mei 2012

Prajurit Sintong Panjaitan

Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando

BATAK - Buku ini mengisahkan pengalaman tempur sebagai anggota Pasukan Baret Merah terjun di Sulawesi Selatan, Papua dan Kalimantan Barat. Taktik dan strategi militer di lapangan yang berhasil. Juga catatan menarik dalam drama pembajakan pesawat DC-9 “Woyla” di Thailand. Pengalaman dengan kapten Prabowo Subianto yang menjadi bawahan dia di Kopassus, diulas lengkap. Mulai dari pembangkangan Prabowo saat akan dipindah ke batalyon kostrad, hingga rencana Prabowo menculik Jendral L.B. Moedani - untuk mengagalkan rencana Moerdani meng-kudeta Soeharto- dan menteri kabinet pada bulan maret 1983 yang berpotensi menggagalkan SU MPR. Plot yang dinilai Sintong sebagai mirip dengan Cakrabirawa dan G30S tahun 1965.
Letjen Sintong Hamonangan PanjaitanSiapa pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus penculikan aktivis prodemokrasi era 1997-1998 silam, mungkin bagi keluarga korban penculikan sedikit terkuak. Mantan Pangdam Udayana Letjen (Purn) Sintong Hamonangan dalam bukunya “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” mengakui prajurit TNI sangat profesional dan taat perintah atasan.
Buku ini diluncurkan di Balai Sudirman, Jl Saharjo, Jakarta Selatan, Rabu (11/3/2009). Dalam bukunya yang setebal 520 halaman, khususnya di bab 13 tentang Peristiwa Maret 1983 di Mako Kopassandha dan Penculikan Aktivis pada Mei 1998, halaman 466, Sintong sedikit mengulas kasus yang saat ini masih diselidiki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu. Bahkan dalam buku yang disusun wartawan perang senior Hendro Soebroto ini, Sintong diacungi jempol sejumlah kalangan. Misalnya dalam sambutannya, Menhan Juwono Sudarsono menuliskan, buku yang merupakan pengalaman dan pandangan Sintong sekitar peristiwa Mei 1998 ini akan memperkaya khasanah riset tentang perubahan politik di Indonesia saat itu. Pengamat militer, wartawan senior, dan mantan militer menilai buku ini adalah memoar purnawirawan TNI yang sangat jarang dibuat.
Selain itu buku tersebut juga bisa menjadi pustaka yang bisa menjawab teka-teki yang agak terang tentang misteri yang terjadi di kalangan TNI, seperti segitiga BJ Habibie-Wiranto-Prabowo, kasus penculikan aktivis prodemokrasi, dan seputar lengsernya Soeharto. Sintong merasakan peristiwa itu (kasus penculikan) merupakan pengalaman terpahit dalam sejarah TNI.
Sintong berharap, kasus serupa jangan terulang kembali. Kasus ini menurutnya harus yang pertama dan terakhir dalam sejarah kelam Korps Baret Merah itu. “Jangan sampai anak buah kita sendiri yang melaksanakan atasan secara legal diadili,” tulisnya mewanti-wanti.
Sintong sangat terpukul atas kasus penculikan yang terungkap di era Presiden Habibie itu. Sebab dialah yang paling tahu dan paham tentang anggota Detasemen 81/Anti Teror atau Tim Mawar yang merupakan pasukan andalan di Kopassus.
“Mereka dipilih dari pasukan infanteri terbaik untuk dididik dan dilatih menjadi Kopassus, di antaranya dipilih masuk Den 81/Anti Teror. Ternyata dalam melaksanakan tugas demi kesetiaan kepada negara dan bangasa, mereka harus masuk penjara,” ungkapnya kecewa.
Padahal, lanjut Sintong dalam bukunya itu, para prajurit yang diadili itu secara taktis dan teknis tidak melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugasnya. “Mereka hanya sebagai prajurit yang melaksanakan perintah atasan secara profesional. Mengapa TNI harus menghukum mereka?” tanyanya.
Sintong secara panjang lebar menjelaskan tentang dua macam tugas dalam organisasi militer, yaitu tugas perintah langsung dari atasan ke bawah dan tugas atas inisiatif sendiri. Memang dalam mengambil inisiatif sendiri, seorang prajurit di bawah ketika akan melakukan dan setelah melakukan tugas inisiatifnya harus segera meminta izin atau melaporkan ke pimpinannya.
“Dalam hal ini Prabowo (mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn) Prabowo Soebianto) harus melaporkan kegiatan itu kepada Panglima ABRI,” katanya. Baru setelah tugas itu dilaporkan, berarti pimpinannya yang mengambilalih tanggung jawab tersebut.
Namun, ternyata operasi penculikan itu tidak pernah dilaporkan Prabowo kepada KSAD yang saat itu dijabat Jenderal TNI Wiranto dan Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal .
Hal ini juga telah diakui Prabowo dalam sidang Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diketuai mantan KSAD Jenderal (Purn) Subayio HS, wakilnya mantan KASUM ABRI Letjen (Purn) Fachrul Razi, Irjen Dephankam Letjen (Purn) Yusuf Kartanegara. Anggota DKP di antaranya Kassospol yaitu SBY yang saat ini menjadi Presiden RI, Agum Gumelar (Gubernur Lemhanas), Djamari Chaniago (Pangkostrad) dan Achmad Sutjipto (Danjen AKABRI).
Diungkapkan Sintong, menjelang Pemilu 1997 dan Sidang Umum 1998, Danjen Kopassus yang saat itu dijabat Prabowo Soebianto menilai perlu ada langkah preventif terhadap kegiatan radikal. Prabowo memberikan perintah lisan kepada Komandan Karsayudha 42/Sandiyudha, Mayor Bambang Kristiono sebagai Komandsan Satgas Merpati untuk mengumpulkan data kegiatan kelompok radikal yang akan menggangu stabilitas nasional.
Atas perintah lisan itu, Bambang Kristino membentuk Tim Mawar yang berjumlah 10 orang perwira dan bintara dari Den 81/Anti Teror dengan tugas secara rahasia dengan metode hitam atau undercover (samaran). Setelah adanya kasus peledakan di rumah susun Tanah Tinggi, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Tim Mawar ini lebih meningkatkan kinerjanya.
Setelah melakukan pengumpulan data intelijen siapa pelaku kasus peledakan itu dan khawatir adanya peningkatan kegiatan kelompok radikal lalu diadakan penangkapan-penangkapan. Penangkapan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan bahwa pelaku belum berkeluarga, jenis kelamin pria yang belum terkenal tapi memiliki intesitas kegiatan yang menonjol, tugas sendiri dilakukan dalam suasana tertib sipil.
Menurut Sintong, secara organisai Prabowo memang tidak memiliki wewenang operasional, tapi secara moral hal itu dilakukannya atas pertimbangan menyelamatkan bangsa dan negara dari ancaman. Dalam lingkungan ABRI (TNI) sering terjadi tindakan spontan untuk menyelamatkan negara dan bangsa, itupun jika ada ancaman nyata.
Namun, pelaksananya harus dilakukan secara hirarki sesuai prosedur militer yang berlaku. “Jika tidak demikian, hal itu akan menimbulkan masalah di kemudian hari,” jelas Sintong.
Sayangnya, dalam buku ini Sintong tidak menjelaskan tentang motif kenapa Prabowo bisa melakukan tindakan insiatif tersebut, apakah semata-mata untuk menyelamatkan bangsa dan negara atau memang atas perintah atasannya lagi? Seperti kita ketahui dalam sidang Mahkamah Militer, Bambang Kristiono dihukum 10 bulan penjara dan dipecat. Empat perwira juga dihukum satu tahun penjara dan dipecat, sedangkan tiga perwira dan tiga bintara lainnya dihukum satu tahun penjara.

Cerita ini ditulis oleh:Morianto pakpahan
Facebook                   : morianzs
Email                           :Morianzs

Batu Gantung

Batu Gantung-Parapat

Parapat atau Prapat adalah sebuah kota kecil yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Indonesia. Kota kecil yang terletak di tepi Danau Toba ini merupakan tujuan wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Kota ini memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dan didukung oleh akses jalan transportasi yang bagus, sehingga mudah untuk dijangkau.

Kota ini sering digunakan sebagai tempat singgah oleh para wisatawan yang melintas di Jalan Raya Lintas Sumatera (Jalinsum) bagian barat yang menghubungkan Kota Medan dengan Kota Padang. Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau Prapat.

Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai manusia yang berada di tepi Danau Toba. Menurut masyarakat setempat, batu itu merupakan penjelmaan seorang gadis cantik bernama Seruni. Peristiwa apa sebenarnya yang pernah terjadi di pinggiran kota kecil itu? Kenapa gadis cantik itu menjelma menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Gantung berikut ini!.

Alkisah,di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan hasilnya digunakan untuk mencukupikebutuhan sehari-hari.

Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang, gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba.

Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya. Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu. Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.

Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.

“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh Seruni. Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya. Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu.

Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil menggonggong. Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa diduga, tiba-tiba ia terperosokke dalam lubang batu yang besar hingga masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu bergerak merapat hendak menghimpitnya.

“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.

Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus asa.

“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.

Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. “Parapat! Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit tubuhnya..

Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan, ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.

“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.

“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.

“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.

“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.

“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.

“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.

“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang ayah. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.

Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”

“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.

“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.

“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.

“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.

Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya obor.

“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.

“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.

Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu merapat untuk menghimpitnya.

“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”

“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.

Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun ke dalam lubang batu.

“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.

“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.

“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.

“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.

“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.

Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.

Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama “Batu Gantung”.

Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup, terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”Oleh karena kata “parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”.

Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Demikian cerita tentang asal-usul nama kota prapat. Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat putus asa atau lemah semangat. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Seruni yang hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam, namunia justru terperosok ke dalam lubang batu dan menghimpitnya hingga akhirnya meninggal dunia.

 

Cerita ini ditulis oleh:Morianto pakpahan

Facebook                   : morianzs

Email                           :Morianzs

 

Batak Karo


Cerita Guru Saman Seorang Jagoan Batak Dari Karo

Cerita Guru Saman kurang begitu tersiar dihalayak umum, khususnya bagi orang Batak baik berada di kota maupun yang di huta. Kurang tau penyebabnya apa, mungkin saja salah satu alasannya cerita yang konon adalah kejadian nyata dari cerita pengakuan orangtua dulu, bahwa semua karakter Guru Saman yang tidak manusiawi. Pembunuh, preman habis dan urak-urakan.
Mendengar nama Guru Saman, masyarakat begitu menyegani sekaligus sangat membencinya. Banyak yang menghindar apabila melihat apalagi mendekati Guru Saman, karena perbuatannya yang semena-mena jagoan inipun tidak segan-segan untuk berbuat kasar bahkan membunuh semua orang yang dia benci.
Guru Saman, dia adalah seorang turunan Lau Balang yang berasal dari Tanah Karo. Semasa remajanya, Guru Saman belajar ilmu silat (moncak Batak), ilmu kebal tikam dan ilmu hitam lainnya yang didapatkannya dari seorang guru kebatinan. Setelah semua ilmu yang diajarkan gurunya dikuasai, mulailah muncul niat Guru Saman untuk merantau meninggalkan tanah Karo menuju Tanah Tapanuli. Dengan ilmu yang dia miliki membuat dirinya sangat berani kemana saja dihendaki. Bahkan dengan ketenarannya pada saat itu banyak orang yang mengandalkan Guru Saman sebagai pembunuh bayaran. Guru Saman tidak akan pernah segan-segan untuk membunuh manusia, siapa saja termasuk yang tidak disukai atau dibenci Guru Saman.
Hampir seluruh daerah Karo di datangi sembari menujukkan kehebatannya kepada orang-orang. Merek dan Saribu Dolok adalah kampung yang dilaluinya dari jalan-jalan hutan. Disinilah Guru Saman menunjukkan |gobatak.com| kehebatannya dengan berbuat semena-mena terhadap orang-orang di perkampungan dan pasar-pasar. Makan dan minum di warung-warung warga tanpa membayar sepeserpun. Jika warga tidak menuruti segala permintaannya, mereka akan menjadi korbannya.
Kemudian dari dua perkampungan tersebut Guru Saman melanjutkan perjalannya menuju Sipahutar melewati SiborongBorong dan Garora. Kedua tempat persinggahan inipun tidak luput dari aksi brutalnya. Minum tuak dan makan paganggang sesukanya, dia akan memaksa orang perkampungan untuk menyediakan makanan meski sudah tidak ada lagi. Jika tidak, dengan wajah sangar sembari menancapkan belati dengan mengancam – darah pemilik warung tuakpun menjadi minumannya sebagai pengganti tuak. Bukan hanya itu, harta dan uang warga juga dia rampok untuk dia hamburkan diatas meja judi.
lakon opera batak
guru saman dalam opera batak

Setelah beberapa waktu pergi ke Sipahutar, daerah Tapanuli Utara, dia lakukan juga pembunuhan kepada seorang pelayan gereja yang bernama Guru Martin, sekaligus dengan Klara, istri yang sedang berbadan dua. Pembunuhan dilakukan atas desakan Hermanus, kepala desa Sipahutar dan bekas murid Guru Saman. Seminggu sebelumnya Hermanus sekeluarga sempat menyerang Guru Martin saat pasca ibadah gereja. Hermanus merasa tersinggung karena uang pembangunan gereja yang digunakan selama ini disinggung tiba-tiba dalam pertemuan itu. Ketersinggungan itu akhirnya dibawa pulang ke rumah dan menjadi motif kemarahan Guru Saman dan rencana pembunuhan tepat pada Sabtu malam.
Pembunuhan sadis tersebut yang dilakukan oleh Guru Saman adalah akhir hidupnya. Setelah warga Sipahutar mengetahui siapa pembunuh Guru Martin, segera warga pelapor kepada polisi di Tarutung. Guru Saman dan muridnya itu ditangkap dan diadili. Namun pengadilan memutuskan Guru Saman harus dihukum gantung. Sebelum dihukum gantung sempat Guru Saman diberi kesempatan menyampaikan pesan terakhirnya.
Inilah pesan Guru Saman kepada warga yang menyaksikan hukuman tersebut: “Sejak kecil semua permintaanku harus dipenuhi orangtuaku. Karena itulah aku selalu meraja lela. Kuharapkan agar orangtua tidak lagi mendidik anaknya seperti aku. Aku siap dihukum gantung dengan segala kesalahanku.”
Hukuman gantung itu berlangsung tanpa diketahui Hermanus serta adik-adiknya karena mereka sudah lebih dulu dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman yang berbeda-beda.
Cerita sejarah Guru Saman sudah pernah diangkat dalam bentu drama dan opera oleh para seniman-seniman Batak. Ada motivasi yang diambil dari cerita tersebut diatas yakni tentang sikap orangtua kepada anak-anak agar tidak memancakan anak.

Cerita ini ditulis oleh:Morianto pakpahan

Facebook                   : morianzs

Email                           :Morianzs


Senin, 07 Mei 2012

naga marsorang


Naga Morsarang


Naga Morsarang
L. 20 1 / 2 in (52,1 cm)
Fred dan Rita Richman, 1987 (1987.453.1)
Salah satu benda peninggalan nenek moyang Suku Batak Toba yang dianggap keramat adalah Naga Morsarang. Benda ini terbuat dari tanduk kerbau dan kayu.

Bagi masyarakat Batak Toba pada zaman dulu tokoh adat maupun agama adalah Datu (Dukun). Datu adalah seorang laki-laki yang dianggap mempunyai keahlian dalam bidang agama atau spiritual dan dianggap sebagai perantara manusia dengan dunia supranatural. 
Dalam pelaksanaan upacara-upacara ritual seperti peramalan atau penangkalan wabah para Datu menggunakan benda-benda sebagai media pelaksanaan ritual seperti perhiasan dan wadah-wadah tempat sesajen atau persembahan. Salah satu wadah yang biasa dipakai adalah Naga Morsarang

Naga Morsarang dibuat dari tanduk kerbau dan kayu, Ujung tanduk diukir dalam bentuk sosok manusia yang duduk. Ujung yang lebih luas terbuka terhubung dengan sumbat kayu yang rumit yang menggambarkan seorang singa (makhluk yang fantastis yang berfungsi sebagai pelindung supranatural) dengan empat sosok manusia naik di punggungnya. Gambar manusia ini mungkin mewakili ritual suksesi empu yang mendahului datu yang memiliki wadah atau angka-angka dari tradisi lisan setempat.




horas.....

cerita pasaribu



Dinasti ini didirikan oleh Raja Uti putra Tateabulan. Bila Dinasti Sorimangaraja berakhir di tanah Batak bagian selatan (Tapanuli Selatan), maka Dinati Hatorusan ini berakhir di Barus, atau tanah Batak bagian barat.

Ibukotanya sendiri berada di kota-kota pesisir. Di antaranya Singkel, Fansul dan Barus. Raja Uti yang mendirikan kerajaannya di wilayah Limbong Sagala memerintahkan pemindahan kekuasaan ke wilayah fansur.

Sejarah regenerasi Raja Uti, mulai dari 1000 tahunan sebelum masehi sampai salah satu keturunanya yang bergelar Raja Uti VII di tahun 1500-an, tidak terdokumentasi dalam penanggalan yang jelas. Namun secara umum, dia memiliki beberapa keturunan, yang sempat diketahui namanya. Namun mungkin saja antara satu nama dengan nama yang lain berjarak puluhan sampai ratusan tahun. Karena kerajaan Hatorusan selalu hilang dan mucul kembali sesuai dengan percaturan politik.
  1. Datu Pejel gelar Raja Uti II
  2. Ratu Pejel III
  3. Borsak Maruhum
  4. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji
  5. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.
  6. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.
Selama pemerintahan Raja Uti VII, abad ke-16, pemerintahan kerajaan mulai goyah. Ekspansi kerajaan telah meluas sampai ke beberapa wilayah di Aceh. Raja Uti VII diceritakan memindahkan ibu kota kerajaan ke wilayahnya di bagian utara yang sekarang masuk kedalam pesisir Aceh.

Tidak diketahui secara pasti alasan pemindahan ibukota kerajaan. Namun diduga bahwa, telah ada sebuah gerakan oposisi yang bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak tersebut berasal dari pedalaman Batak. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya bebeberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri.

Sang Raja VII mempunyai beberapa panglima di antaranya seorang panglima yang sangat tangguh yang juga kebetulan adalah kemenakannya sendiri. Putra dari seorang saudari perempuannya, Boru Pasaribu. Dia bernama Mahkuta alias Mahkota yang dikenal di kalangan Batak dengan sebutan Manghuntal putra seorang datu bermarga Sinambela dari pusat Batak. Dia dididik di istana kerajaan dan menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.

Ketika Portugis pertama sekali menyerang daerah tersebut, Panglima Mahkuta memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut. Selain mendapat serangan dari pihak luar, kerajaan juga mendapat pemberontakan di dalam negeri.

Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak tersebut. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuasaan. Kerajaan terpecah dalam kerajaan-kerajaan kecil. Mahkuta alias Manghuntal mendirikan Dinasti Sinambela (Sisingamangaraja) di Bakkara.

Sementara itu, komunitas Pasaribu di Barus, para keturunanan Raja Uti, meneruskan hegemoni Dinasti Pasaribu dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan di Barus Hilir. Ada pendapat sejarah yang mengatakan bahwa Sultan Ibrahimsyah Pasaribu adalah orang yang memberi kekuasaan kepada Manghuntal, Mahkuta, untuk mendirikan kerajaannya di Bakkara. Dengan demikian dialah yang bergelar Raja Uti VII tersebut (?).

Selain nama-nama di atas, berikut adalah nama-nama Dinasti Hatorusan berikutnya:
  1. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu (Gelar Raja Hatorusan). Wafat 1610 Masehi.
  2. Sultan Yusuf Pasaribu
  3. Sultan Adil Pasaribu
  4. Tuanku Sultan Pasaribu
  5. Sultan Raja Kecil Pasaribu
  6. Sultan Emas Pasaribu
  7. Sultan Kesyari Pasaribu
  8. Sultan Main Alam Pasaribu
  9. Sultan Perhimpunan Pasaribu
  10. Sultan Marah Laut bin Sultan Main Alam Pasaribu pada tahun 1289 rabiul akhir atau pada tanggl 17 Juni 1872 menuliskan kembali Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus, dari sebuah naskah tua peninggalan leluhurnya yang hampir lapuk. 
     
     

    Cerita ini ditulis oleh:Morianto pakpahan

    Facebook                   : morianzs

    Email                           :Morianzs

Tunggal Panaluan

 


Tunggal Panaluan adalah sebuah benda berbentuk tongkat (tungkot) dengan ukuran panjang kira-kira 170 cm, dan biasanya dimiliki oleh Datu bolon (dukun besar).Tongkat Tunggal Panaluan ini salah satu seni  dari suku Batak yang sudah terkenal diseluruh dunia, yang diukir menurut kejadian sebenarnya dari kayu tertentu yang juga memiliki kesaktian. Masyarakat suku Batak meyakini bahwa benda ini memiliki kekuatan gaib, seperti untuk meminta hujan, menahan hujan (manarang udan), menolak bala, wabah, mengobati penyakit, mencari dan menangkap pencuri, membantu dalam peperangan dll.

Ada beberapa versi mengenai kisah terjadinya tongkat Tongkat Tunggal Panaluan ini, tetapi pada intinya kisah-kisah tersebut hampir bersamaan atau mirip. Berikut ini adalah kisah atau legenda asal mula Tungkot Tunggal Panaluan tersebut.

Dahulu kala di daerah Pangururan, Pulau Samosir tepatnya di Desa Sidogordogor tinggallah seorang laki-laki bernama Guru Hatimbulan. Beliau adalah seorang dukun yang bergelar ‘Datu Arak ni Pane‘. Istrinya bernama Nan Sindak Panaluan. Mereka sudah cukup lama menikah tetapi belum juga di karuniai seorang anakpun. Suatu ketika perempuan itu hamil setelah begitu lamanya mereka menunggu, kehamilan tersebut membuat heran semua penduduk kampung itu dan menganggap keadaan itu hal yang gaib (aneh), bersamaan pada saat itu juga sedang terjadi masa kemarau dan paceklik, cuaca sangat panas dan kering, saking teriknya tak tertahankan, permukaan tanah dan rawa-rawa pun menjadi kerak dan keras.

Melihat keadaan kemarau dan panas yg masih terjadi ini, membuat Raja Bius (head of Malim community) menjadi risau, lalu ia pergi menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya: ‘Mungkin ada baiknya kita mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Nabolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus berkepanjangan?’. Hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya, lalu Guru Hatimbulan menjawab :”Semua ini mungkin saja terjadi”. lalu Raja Bius mengatakan :” Semua orang kampung heran mengapa istrimu begitu lama baru hamil, mereka berkata bahwa kehamilannya itu sangat terlalu lama", karena percakapan itu maka timbullah pertengkaran diantara mereka, tetapi tidak menyebabkan perkelahian.

Di lain waktu tiba saatnya istri Guru Hatimbulan melahirkan, perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak laki-laki dan perempuan, seketika itu juga maka hujan pun turun dengan lebatnya, maka semua tanam-tanaman dan pepohonan nampak segar kembali dan keadaan menjadi hijau lagi. Untuk merayakan itu semua, lalu Guru Hatimbulan memotong seekor lembu serta untuk mendamaikan kekuasaan jahat. Ia juga mengundang semua penatua-penatua dan kepala-kepala kampung dalam perjamuan itu, dimana nama anak-anak itu akan di umumkan putranya diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya itu di beri nama Si Boru Tapi Nauasan.

Setelah usai pesta tersebut, ada beberapa tamu yang telah menasehatkan Guru Hatimbulan supaya anak-anak itu jangan kiranya di asuh bersama-sama, yang satu kiranya di bawa ke barat dan yang satu lagi di bawa ke timur, sebab anak itu lahir kembar, dan juga berlainan jenis kelamin, hal ini sangat tidak menguntungkan menurut kata orangtua dulu.

Guru hatimbulan tidak memandang serta memperhatikan nasehat dari para penatua dan kepala kampung tersebu. Setelah sekian lama terbuktilah apa yg dinasehat para penatua itu benar adanya. Dilain waktu, Guru hatimbulan pergi ke Pusuk buhit dan membuat sebuah gubuk disana, dan membawa anak-anaknya kesana.

Gubuk itu dijaga dengan seekor anjing dan setiap hari guru hatimbulan membawakan makanan untuk anaknya tersebut. Setelah anak-anaknya bertumbuh menjadi besar, pergilah putrinya jalan-jalan ke hutan lalu dilihatnya sebuah pohon yaitu pohon piu-piu tanggulon(hau tada-tada), pohon yang batangnya penuh dengan duri tetapi memiliki buah manis. Melihat buah pohon itu, maka timbullah hasratnya untuk memakannya, dia mengambil beberapa buah itu dan memakannya. Pada saat itu juga dia tertelan dan menjadi satu dengan pohon itu hanya kepalanya saja yg terlihat (tersisa) . Di tempat lain abangnya Si Aji Donda Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang, kenapa sampai sore kok belum pulang juga adiknya, lalu dia pergi ke dalam hutan untuk mencarinya sambil berteriak memanggil-manggil nama adiknya itu. Saat dia sudah merasa letih, tiba-tiba dia mendengar jawaban dari adiknya dari pohon yg berdekatan dengan dia, dan adiknya menceritakan apa yg terjadi.

Si Aji Donda memanjat pohon itu, tetapi dia pun ikut ditelan dan menjadi satu dengan pohon itu. Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja di dalam gelapnya hutan. Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan meloncat-loncat pada pohon tersebut, lalu anjing itupun mengalami hal yang sama, tertelan oleh pohon itu hanya kepalanya saja yang terlihat.

Seperti biasa si Guru hatimbulan datang ke gubuk anaknya untuk membawakan mereka makanan, tapi dia tidak menemui mereka, lalu dia mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke dalam hutan, sampai pada akhirnya dia menemui pohon tersebut dan dimana dia hanya melihat kepala kedua orang anak itu dan anjing penjaganya.

Melihat hal itu dia menjadi sedih. Dari info dan petunjuk yang dia cari maka bertemulah dia dengan seorang datu yg bernama Datu Parmanuk Koling, dia menceritakan kejadian itu dan mengajak datu itu ke pohon tersebut untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yg ingin melihat, karena kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok dan pemusik pun sudah dipanggil lalu si datu memulai ritualnya, si datu berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yg menawan anak si Guru hatimbulan, setelah upacara selesai maka naiklah si Datu Parmanuk koling ke pohon itu, tetapi hal yang sama juga terjadi, dia tertelan oleh pohon itu.

Guru Hatimbulan dan para penonton kembali ke rumah mereka dengan hati kecewa, tetapi mereka tidak putus asa , mereka tetap berusaha mencari jalan keluarnya dengan mencari datu lain. Kemudian Guru hatimbulan mendengar kabar ada datu yang hebat, namanya Marangin Bosi atau Datu Mallantang Malitting. Orang itu pergi ke pohon tersebut, tetapi mengalami nasib yang sama.

Kemudian ada juga Datu Boru SiBaso Bolon, dia juga menjadi tawanan si pohon itu. Hal yang sama juga terjadi kepada Datu Horbo Marpaung, Si Aji Bahar(si Jolma so Begu) yang mana setengah manusia dan setengah iblis. Dan seekor ular pun di telan pohon itu. Guru hatimbulan sudah kehabisan akal,dan juga telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk keperluan pemusik(gondang) , pele-pelean, dan semua yg diminta para datu itu utk roh yg ada di pohon tsb.

Beberapa hari setelah itu, seorang datu, bernama Si Parpansa Ginjang memberitahukan Guru hatimbulan bahwa dia dapat membebaskan kedua anaknya dari tawanan pohon itu. Guru hatimbulan mempercayai omongan si datu itu,dan menyediakan semua apa yang diminta oleh si datu. Si datu berkata bahwa kita harus memberikan persembahan kepada semua roh, roh tanah(spirit of land), roh air(water), roh kayu(wood) dan lainnya baru kemudian bisa membebaskan kedua anak tsb.

Guru hatimbulan mempersiapkan semua yg diperlukan oleh si datu utk upacara tsb sesuai dgn arahan si datu. Kemudian mereka pergi menemui pohon itu disertai oleh orang kampung sekitarnya. Setelah si datu selesai memberikan mantra kepada senjata wasiatnya,lalu dia menebang pohon itu tetapi semua kepala orang yangg ada di pohon jadi menghilang, juga anjing dan ular yg tertelan pohon itu. Semua orang yg menyaksikan seperti terperanjat, lalu si datu berkata kepada Guru hatimbulan: 'Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah gambaran dari orang-orang yg ditelan oleh pohon ini'. Guru hatimbulan memotong batang pohon itu menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dengan bentuk 5 orang lelaki, 2 orang anaknya, seekor anjing dan seekor ular.

Setelah selesai mengukit tongkat tersebut menjadi 9 rupa, maka semua orang kembali ke kampung guru hatimbulan, ketika mereka tiba di kampung ditandai dengan bunyi gong, dan juga mengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yang di ukir dalam tongkat tersebut. Setelah guru hatimbulan selesai manortor maka tongkat itu diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Setelah itu baru datu Parpansa Ginjang manortor (menari), melalui tortor ini dia kesurupan (siar-siaron) dirasuki roh-roh dari orang-orang  yg pernah ditelan pohon itu dan mulai berbicara satu-persatu, mereka adalah roh dari:

1. Si Aji Donda Hatahutan.
2. Siboru Tapi Nauasan.
3. Datu Pulo Punjung nauli, atau si Melbus-elbus.
4. Guru Manggantar porang.
5. Si Sanggar Maolaol.
6. Si Upar mangalele.
7. Barita Songkar Pangururan.
Dan mereka berkata, wahai bapak pemahat, kau telah membuat ukiran dari rupa kami semua dan kami punya mata, tetapi tidak bisa melihat, kami punya mulut tetapi tidak bisa bicara, kami punya telinga tapi tidak mendengar, kami punya tangan tapi tidak bisa menggenggam.

Kami mengutuk kamu, wahai pemahat!. Si datu menjawab, jangan kutuk dia tetapi kutuklah pisau ini tanpa pisau ini dia tidak dapat mengukir image kalian. Tetapi si pisau berbalik membalas, jangan kutuk aku, tetapi kutuklah si tukang besi. Kalau saja dia tidak menempa aku menjadi pisau, aku tidak akan pernah menjadi pisau. Si tukang besi menjawab, jangan kutuk aku tapi kutuklah Angin, tanpa angin aku tidak dapat menempa besi. Angin menjawab, jangan kutuk kami tapi kutuklah si Guru hatimbulan. ketika semua tertuju pada Guru hatimbulan, maka roh itu berkata melalui si datu, ‘ aku mengutukmu, ayah dan juga kamu Ibu, yaitu yang melahirkan aku’. Ketika Guru hatimbulan mendengar itu, dia menjawab balik’ jangan kutuk aku tetapi kutuklah dirimu sendiri. Kau yang jatuh ke dalam lubang dan terbunuh oleh pisau dan kamu tidak mempunyai keturunan.

Lalu Roh itu berkata ‘baiklah, biarlah begini adanya, ayah, dan gunakanlah aku ‘ untuk: Menahan hujan, Memanggil hujan pada waktu musim kering, Senjata di waktu perang, Mengobati penyakit, Menangkap pencuri, dll. Setelah upacara itu, maka pulanglah mereka masing-masing.
 
Cerita ini ditulis oleh:Morianto pakpahan
Facebook                   : morianzs
Email                           :Morianzs

Sisingamangaraja


 Raja Si Singamangaraja I : Raja Manghuntal

Raja Si Singamangaraja I adalah anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu putra ke tiga atau bungsu.  Raja Bonanionan menikah dengan boru Pasaribu. Walaupun mereka sudah lama menikah, tetapi mereka belum mempunyai turunan. Karena itu boru Pasaribu pergi ke “Tombak Sulu-sulu” untuk "marpangir"(keramas dengan jeruk purut). Setiap kali selesai marpangir, boru Pasaribu berdoa kepada “Ompunta” yang di atas, mohon belas kasihan agar dikaruniai keturunan. Pada suatu hari , datanglah cahaya terbang ke Tombak Sulu-sulu dan hinggap di tempat ketinggian yang dihormati di tempat itu. Yang datang itu memperkenalkan diri, rupanya seperti kilat bercahaya-cahaya dan yang datang itu adalah Ompunta Batara Guru Doli. Ompunta Tuan Batara Guru Doli berkata bahwa boru Pasaribu akan melahirkan anak. Katanya: “Percayalah bahwa engkau akan melahirkan seorang anak dan beri namanya Singamangaraja”. Kalau anakmu itu sudah dewasa, suruh dia mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti, berupa:

1. Piso gaja Dompak
2. Pungga Haomasan
3. Lage Haomasan
4. Hujur Siringis
5. Podang Halasan
6. Tabu-tabu Sitarapullang

Tidak lama kemudian boru Pasaribupun mulai mengandung. Setelah mengandung selama 19 bulan boru Pasaribu melahirkan seorang putera. Sang Putra ini lahir dengan gigi yang telah tumbuh dan lidah yang berbulu. Semasa remajanya Singamangaraja banyak berbuat atau bertingkah yang ganjil terutama pada orang yang tidak pemaaf, yang ingkar janji, melupakan kawan sekampung yang lemah, membebaskan mereka yang tarbeang kalah berjudi. Si Singamangarajapun pernah menunjukkan keheranan orang-orang yang berpesta dimana gondangnya tidak berbunyi dan tanaman padi dan jagung akarnya berbalik keatas mengikuti Si Singamangaraja saat jungkir balik dihariara parjuragatan. Hal ini terjadi karena mereka itu melupakannya.

Setelah Singamangaraja dewasa maka ibunya boru Pasaribu menyampaikan pesan dari Ompunta Batara Guru Doli bahwa Singamangaraja harus mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti. Dia tidak tahu di mana kampung keramat Raja Uti demikian juga ibunya. Dia berangkat dengan berbekal doa yang menunjukkan dan menuntun langkahnya ke tempat keramat tersebut.

Dalam perjalanan banyak hambatan demikian juga setiba di keramat kampung Raja Uti yang ternyata ada di daerah Barus. Di sana juga dia dicoba tetapi semua bisa diatasi dengan baik. Sisingamangaraja bertemu dengan Raja Uti dan mereka makan bersama dan katanya: “Sudah benar ini adalah Raja dari orang Batak”. Setelah selesai makan merekapun menanyakan silsilah (martarombo) dan Si Singamangarajapun menyampaikan maksudnya dan disamping itu Sisingamangaraja meminta beberapa ekor gajah. Atas maksud Si Singamangaraja itu, Raja uti mengatakan akan memberikannya seperti pesan yang disampaikan Ompunta itu dengan syarat Si Singamangaraja harus dapat menyerahkan daun lalang selebar daun pisang, burung puyuh berekor dan tali yang terbuat dari pasir. Syarat-syarat yang diminta Raja Uti untuk mendapat tanda-tanda harajaon itu dapat dipenuhi semua oleh Singamangaraja. Sedang mengenai permintaan akan gajah itu, Raja Uti memberikannya asal Si Singamangaraja bisa menangkap sendiri. Si Singamangarajapun memanggil gajah itu maka heranlah Raja Uti melihatnya. Dan setelah itu dibawanya tanda-tanda harajaon itu pulang ke Bakara termasuk gajah itu. Dengan tanda-tanda harajaon itu, jadilah dia menjadi Raja Singamangaraja, singa mangalompoi, Singa naso halompoan.

Raja Sisingamangaraja I sampai Raja Si Singamangaraja IX tidak diketahui kapan wafatnya dan dimana makamnya. Raja-raja ini setelah mempunyai keturunan dan merasa sudah ada penggantinya pergi merantau dan Piso Gaja Dompak tidak dibawanya. Mereka dipastikan telah wafat adalah melalui tanda-tanda alam yaitu ada cabang dari Hariara Namarmutiha yang patah. Kalau ada cabang Hariara ini yang patah berarti ada anggota keluarga yang meninggal dan kalau cabang utama yang patah berarti Raja Si Singamangaraja telah tiada. Hariara Namarmutiha ini dikenal juga sebagai Hariara Tanda dan sampai sekarang masih tumbuh di Bakara.

Biasanya keadaan ini diikuti dengan cuaca musim kemarau, sehingga masyarakat mengharapkan turunnya hujan melalui tonggo-tonggo Raja Sisingamangaraja. Si Onom Ompu (Bakara, Sinambela, Sihite, Simanullang, Marbun dan Simamora) dari Bakara mempersiapkan upacara margondang lalu meminta kesediaan putera Raja Si Singamangaraja untuk mereka gondangi.
 
Dengan memakai pakaian ulos batak Jogia Sopipot dan mengangkat pinggan pasu berisi beras sakti beralaskan ulos Sande Huliman sebagai syarat-syarat martonggo, putera raja inipun dipersilahkan memulai acara. Iapun meminta gondang dan menyampaikan tonggo-tonggo (berdoa) kepada Ompunta yang di atas untuk meminta turunnya hujan, kemudian manortorlah putera raja ini. Pada saat manortor itu langitpun mendung dan akhirnya turun hujan lebat dan masyarakat Si Onom Ompupun menyambutnya dengan kata HORAS HORAS HORAS. Kemudian piso Gaja Dompak pun diserahkan kepadanya dan dicabut/dihunusnya dengan sempurna dari sarangnya serta diangkatnya ke atas sambil manortor. Siapa di antara putera raja itu yang bisa melakukan hal-hal di atas dialah yang menjadi Raja Si Singamangaraja yang berikutnya, jadi tidak harus putera tertua.
 
Secara berturut-turut yang menjadi Raja Si Singamangaraja berikutnya dan perkiraan tahun pemerintahannya adalah Sebagai berikut:
Ø Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Ø Singamangaraja III, Raja Itubungna
Ø Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja
Ø Singamangaraja V, Raja Pallongos
Ø Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk
Ø Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut
Ø Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Ø Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan
Ø Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon
Ø Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon
Ø Singamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu

 
Raja Si Singamangaraja X : Ompu Tuan Nabolon

Raja Si Singamangaraja X Ompu Tuan Nabolon mangkat karena dipenggal oleh Si Pokki Nangolngolan atau Tuanku Rao, yang dengan akal liciknya mengundang Raja Si Singamangaraja X untuk datang ke Butar. Pada pertemuan di Butar itulah si Pokki memenggal leher Raja Sisingamangaraja X. Kepala Raja ini terbang menghilang, terbang ke pangkuan ibundanya boru Situmorang. Oleh ibunya, secara diam-diam dikuburkannya di dalam batu besar yang ada di Lumban Raja, karena sebelumnya ia sudah berfirasat akan kejadian yang akan menimpa anaknya.

Adapun badan Raja Si Singamangaraja X yang terkapar di bukit parhorboan, tertimbun tanah karena tiba-tiba bukit itu runtuh. Raja si Onom Ompu dengan pengikut-pengikut yang mendampingi Raja Si Singamangaraja X pun melawan dan sebagian teman si Pokki itu mangkat. Tetapi karena pasukan si Pokki yang tadinya bersembunyi datang membantu si Pokki dan si Pokki menjadi lebih kuat, melarikan dirilah mereka ke Gunung Imun. Si Pokki terus menyerang Bakara dan banyak yang ditewaskannya baik yang dewasa maupun anak kecil.

Menurut pengakuan Pokki Nangolngolan (Tuanku Rao), dia adalah anak dari saudara perempuan Raja Sisingamangaraja X yang pergi ke Bonjol. Pokki Nangolngolan mengatakan bahwa dia sudah rindu pada tulangnya dan dia akan memberinya makan (manulangi) dan akan memberikan piso-piso (uang) sebagai persembahan. Karena kata-kata manis dari si Pokki inilah maka Raja Sisingamangaraja X pergi ke butar. Walaupun pada awalnya Ia mengatakan kenapa si Pokki tidak mendatanginya ke Bakara.
Karena tidak mendapatkan jenazah Raja Si Singamangaraja X, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke Bakara. Banyak penduduk yang dibunuh. Pasukannya membumihanguskan seluruh daerah yang dilaluinya dari Butar ke Bakara termasuk istana Lumban Pande di Bakara.

Isteri Raja Si Singamangaraja X yang pertama yaitu boru Situmorang dengan 2 orang anaknya yang masih kecil melarikan diri ke Lintong Harian Boho ke kampung orangtuanya Situmorang. Sedang isterinya yang kedua bermarga boru Nainggolan beserta anaknya Raja Mangalambung diculik si Pokki bersama anak-anak yang lain yang diduganya sebagai anak Raja Si Singamangaraja X. Mereka dibawa ke arah tenggara dalam perjalanan kembali ke Bonjol. Dalam perjalanannya di daerah Tapanuli Selatan sedang terjadi wabah penyakit menular (begu antuk) yang juga mengenai/menyerang pasukan Tuanku Rao sehingga kacau balau. Tawanannya tercecer di Tapanuli Selatan. Sebagian dari yang tercecer ini membuat perkampungan di daerah di Tapanuli Selatan ini.

Raja Si Singamangaraja XI : Ompu Sohahuaon

Belum lagi selesai penderitaan akibat serangan si Pokki terjadi pula musim kemarau yang berkepanjangan. Masyarakat Si Onom Ompu bersepakat menyampaikan hal ini kepada boru Situmorang dan memintanya kembali ke Bakara. Setelah boru Situmorang membawa kedua anaknya kembali, masyarakatpun meminta agar Ompu Sohahuaon mereka gondangi untuk turunnya hujan.

Acara margondangpun dipersiapkan dengan baik dan Ompu Sohahuaon yang masih kecil tampil dengan berpakaian ulos Batak. Boru Situmorang dan masyarakat si Onom Ompu kaget dan kagum, karena Ompu Sohahuaon yang masih kecil itu mampu meminta gondang dan mengucapkan tonggo-tonggo untuk turunya hujan. Merekapun mengelu-elukan dengan manortor. Haripun menjadi gelap karena mendung dan hujanpun turun dengan lebat. Ompu Sohahuaon terus manortor sampai berakhir gondang yang dipintanya. Kemudian diserahkan Piso Gaja Dompak kepadanya dan manortor kembali sambil menghunus Piso Gaja Dompak dengan sempurna dan disarungkan kembali. Ompu Sohahuaon dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XI dalam usia 10 tahun.

Pada masa pemerintahan Raja Si Singamangaraja XI disusunlah  “Pustaha Harajaon (pustaka kerajaan)”  yang ditulis dengan dawat/tinta cina diatas kertas Watermark ukuran folio buatan Itali dalam tulisan dan bahasa Batak. Pustaka ini dibuat atas bimbingan dari Ompu Sohahuaon sendiri. Pustaha harajaon ini terdiri atas 24 jilid, setiap jilidnya tebalnya sekitar 5 Cm yang isinya secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
  • Jilid 1 s/d 3: Pemerintahan Tuan Sorimangaraja selama 90 turunan mulai dari Putri Tapi Donda Nauasan.
  • Jilid 4 s/d 7: Pemerintahan kerajaan Singamangaraja  I s/d  IX.
  • Jilid 8: Perihal Pedang Padri Tuanku Rao terhadap Tuan Nabolon Sisingamangaraja X.
  • Jilid 9: Perihal Pongkinangolngolan dan Datu Aman Tagor Simanullang.
  • Jilid 11 s/d 12: Perihal Pendeta Pilgram, pembunuhan atas diri Pendeta Lyman dan Munson oleh Raja Panggalamei.
  • Jilid 13-16: Periode pembangunan kembali ibu kota kerajaan Bakara dan daerah-daerah Toba tahun 1835-1845 atas pembumi hangusan perang bonjol.
  • Jilid 17: Perihal Dr. Junghun, van der Tuuk yang datang menjumpai Sisingamangaraja XI dan perihal photonya.
  • Jilid 18 s/d 24: Penobatan Ompu Sohahuaon menjadi Sisingamangaraja XI, pemerintahannya sampai tahun 1886 dan perihal penyakit menular yang dahsyat di tanah Batak.

Pada tahun 1884 Pustaha Harajaon ini ditemukan dari tumpukan rumah kerajaan yang dibakar oleh tentera Belanda. Dibawa ke Holland oleh Pendeta Pilgrams dan sekarang ada di Museum Perpustakaan Pemerintah Belanda di Leiden Holland. Pustaha Harajaon tidak diteruskan penulisannya oleh Sisingamangaraja XII sebab tidak ada kesempatan, karena semenjak awal pemerintahannya, Koloni Belanda telah melancarkan agresinya di tanah Batak dan sekitarnya, sehingga Ompu Pulobatu berperang selama 30 tahun sampai tewasnya dalam usia 59 tahun pada 17 juni 1907.

Raja Si Singamangaraja XI Ompu Sohahuaon menikah dengan boru Aritonang sebagai isteri pertama yang melahirkan Raja Parlopuk . Isteri kedua adalah boru Situmorang yang melahirkan Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Beda umur Raja Parlopuk dengan Patuan Bosar sangat jauh, ada sekitar 15 tahun.
Ketika Ompu Sohahuaon jatuh sakit, maka jalan pemerintahan dilaksanakan oleh Raja Parlopuk. Cukup lama Raja Parlopuk memegang tugas itu dan dilaksanakannya dengan baik. Tahun 1866 Ompu Sohahuaoan meninggal di Bakara dan dibangun makamnya oleh Raja Parlopuk dengan Si Onom Ompu di Lumban Raja. Makam inilah yang pertama ada di Bakara karena Sisingamangaraja I hingga  IX tidak diketahui meninggal di mana. Waktu Raja Si Singamangaraja XI meninggal, Patuan Bosar sedang merantau ke Aceh.

Makam ini dibongkar oleh Raja Si Singamangaraja XII karena Bakara diserang Belanda. Tulang belulang Raja Si Singamangaraja XI dibawanya ikut berjuang ke hutan, karena tidak ingin tengkorak orang-tuanya diambil oleh Belanda. Semasa perjuangan tulang-belulang ini di titipkan di huta Janji Dolok Sanggul lalu dipindahkan lagi ke Huta Paung. Setelah zaman kemerdekaan, kembali di pindahkan di rumah Soposurung.

Kira-kira 105 tahun kemudian, makam ini dibangun kembali oleh keluarga Raja Sisingamangaraja dan pada tahun 1975 tulang belulang Raja Sisingamangaraja XI dan istrerinya dimakamkan kembali ke makam semula di Bakara. Raja Parlopuk terus melaksanakan pemerintahan Singamangaraja hingga tahun 1871, yaitu setelah dinobatkannya Patuan Bosar sebagai Raja Sisingamangaraja XII.

Raja Si Singamangaraja XII : Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu

Walaupun Raja Si Singamangaraja XI telah meninggal, Si Onom Ompu tidak merasa ada yang kurang dalam pemerintahan, karena Raja Parlopuk bekerja dengan cukup baik. Tetapi ketika musim kemarau datang dan membawa penderitaan, mulailah si Onom Ompu berfikir untuk adanya acara margondang. Raja Parlopukpun mereka persilahkan untuk mereka gondangi agar dia martonggo memohon turun hujan. Tetapi hujan tidak turun-turun juga.

Mulanya Ompu Pulo Batu tidak bersedia mereka gondangi karena merasa bahwa abangnya itu telah sebagai raja pengganti ayahnya. Akhirnya Ompu Pulo Batu bersedia karena melihat penderitaan yang diderita masyarakat Si Onom Ompu. Setelah melaksanakan upacara seperti yang biasa dilakukan, Ompu Pulobatu berhasil mendatangkan hujan. Ompu Pulo Batupun dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XII pada tahun 1871.

Ompu Pulo Batu lahir tahun 1848 dari ibunya boru Situmorang. Pada saat pemuda, Ompu Pulo Batu merantau ke Aceh, disana bergaul dengan pedagang dari Persia dan belajar banyak hal. Karena itu ketika perang melawan Belanda, Raja Si Singamangaraja XII dibantu oleh pejuang-pejuang dari Aceh, dan dalam cap/stempelnya dipakai Bahasa Arab dan Bahasa Batak.

Pada tahun 1877 Raja Si Singamangaraja XII menyatakan perang kepada Belanda. Kemudian dia menjalankan perang terhadap Belanda selama 3 dasawarsa.
 
Cerita ini ditulis oleh:Morianto pakpahan
Facebook                   : morianzs
Email                           :Morianzs