Batu Gantung-Parapat
Parapat atau Prapat adalah sebuah kota
kecil yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara,
Indonesia. Kota kecil yang terletak di tepi Danau Toba ini merupakan
tujuan wisata yang ramai dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun
mancanegara. Kota ini memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dan
didukung oleh akses jalan transportasi yang bagus, sehingga mudah untuk
dijangkau.
Kota ini sering digunakan sebagai tempat singgah oleh para wisatawan
yang melintas di Jalan Raya Lintas Sumatera (Jalinsum) bagian barat yang
menghubungkan Kota Medan
dengan Kota Padang. Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat
juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di
Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan yang
terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat atau Prapat.
Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai manusia yang
berada di tepi Danau Toba. Menurut masyarakat setempat, batu itu
merupakan penjelmaan seorang gadis cantik bernama Seruni. Peristiwa apa
sebenarnya yang pernah terjadi di pinggiran kota kecil itu? Kenapa gadis
cantik itu menjelma menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti
kisahnya dalam cerita Batu Gantung berikut ini!.
Alkisah,di sebuah desa terpencil di pinggiran Danau Toba Sumatera
Utara, hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya
yang cantik jelita bernama Seruni. Selain rupawan, Seruni juga sangat
rajin membantu orang tuanya bekerja di ladang. Setiap hari keluarga
kecil itu mengerjakan ladang mereka yang berada di tepi Danau Toba, dan
hasilnya digunakan untuk mencukupikebutuhan sehari-hari.
Pada suatu hari, Seruni pergi ke ladang seorang diri, karena kedua
orang tuanya ada keperluan di desa tetangga. Seruni hanya ditemani oleh
seekor anjing kesayangannya bernama si Toki. Sesampainya di ladang,
gadis itu tidak bekerja, tetapi ia hanya duduk merenung sambil
memandangi indahnya alam Danau Toba.
Sepertinya ia sedang menghadapi masalah yang sulit dipecahkannya.
Sementara anjingnya, si Toki, ikut duduk di sebelahnya sambil menatap
wajah Seruni seakan mengetahui apa yang dipikirkan majikannya itu.
Sekali-sekali anjing itu menggonggong untuk mengalihkan perhatian sang
majikan, namun sang majikan tetap saja usik dengan lamunannya.
Memang beberapa hari terakhir wajah Seruni selalu tampak murung. Ia
sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan
seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin
asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina
rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak
ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup
jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa
tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa.
“Ya, Tuhan! Hamba sudah tidak sanggup hidup dengan beban ini,” keluh
Seruni. Beberapa saat kemudian, Seruni beranjak dari tempat duduknya.
Dengan berderai air mata, ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba.
Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau
Toba yang bertebing curam itu.
Sementara si Toki, mengikuti majikannya dari belakang sambil
menggonggong. Dengan pikiran yang terus berkecamuk, Seruni berjalan ke
arah tebing Danau Toba tanpa memerhatikan jalan yang dilaluinya. Tanpa
diduga, tiba-tiba ia terperosokke dalam lubang batu yang besar hingga
masuk jauh ke dasar lubang. Batu cadas yang hitam itu membuat suasana di
dalam lubang itu semakin gelap. Gadis cantik itu sangat ketakutan. Di
dasar lubang yang gelap, ia merasakan dinding-dinding batu cadas itu
bergerak merapat hendak menghimpitnya.
“Tolooooggg……! Tolooooggg……! Toloong aku, Toki!” terdengar suara Seruni meminta tolong kepada anjing kesayangannya.
Si Toki mengerti jika majikannya membutuhkan pertolongannya, namun ia
tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menggonggong di mulut
lubang. Beberapa kali Seruni berteriak meminta tolong, namun si Toki
benar-benar tidak mampu menolongnnya. Akhirnya gadis itu semakin putus
asa.
“Ah, lebih baik aku mati saja daripada lama hidup menderita,” pasrah Seruni.
Dinding-dinding batu cadas itu bergerak semakin merapat. “Parapat!
Parapat batu… Parapat!” seru Seruni menyuruh batu itu menghimpit
tubuhnya..
Sementara si Toki yang mengetahui majikannya terancam bahaya terus
menggonggong di mulut lubang. Merasa tidak mampu menolong sang majikan,
ia pun segera berlari pulang ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampai di
rumah majikannya, si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang
kebetulan baru datang dari desa tetangga berjalan menuju rumahnya.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki menggonggong sambil mencakar-cakar
tanah untuk memberitahukan kepada kedua orang tua itu bahwa Seruni dalam
keadaan bahaya.
“Toki…, mana Seruni? Apa yang terjadi dengannya?” tanya ayah Seruni kepada anjing itu.
“Auggg…! auggg…! auggg…!” si Toki terus menggonggong berlari mondar-mandir mengajak mereka ke suatu tempat.
“Pak, sepertinya Seruni dalam keadaan bahaya,” sahut ibu Seruni.
“Ibu benar. Si Toki mengajak kita untuk mengikutinya,” kata ayah Seruni.
“Tapi hari sudah gelap, Pak. Bagaimana kita ke sana?” kata ibu Seruni.
“Ibu siapkan obor! Aku akan mencari bantuan ke tetangga,” seru sang
ayah. Tak lama kemudian, seluruh tetangga telah berkumpul di halaman
rumah ayah Seruni sambil membawa obor. Setelah itu mereka mengikuti si
Toki ke tempat kejadian. Sesampainya mereka di ladang, si Toki langsung
menuju ke arah mulut lubang itu. Kemudian ia menggonggong sambil
mengulur-ulurkan mulutnya ke dalam lubang untuk memberitahukan kepada
warga bahwa Seruni berada di dasar lubang itu.
Kedua orang tua Seruni segera mendekati mulut lubang. Alangkah
terkejutnya ketika mereka melihat ada lubang batu yang cukup besar di
pinggir ladang mereka. Di dalam lubang itu terdengar sayup-sayup suara
seorang wanita: “Parapat… ! Parapat batu… Parapat!”
“Pak, dengar suara itu! Itukan suara anak kita! seru ibu Seruni panik.
“Benar, bu! Itu suara Seruni!” jawab sang ayah ikut panik.
“Tapi, kenapa dia berteriak: parapat, parapatlah batu?” tanya sang ibu.
“Entahlah, bu! Sepertinya ada yang tidak beres di dalam sana,” jawab sang ayah cemas.
Pak Tani itu berusaha menerangi lubang itu dengan obornya, namun
dasar lubang itu sangat dalam sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya
obor.
“Seruniii…! Seruniii… !” teriak ayah Seruni.
“Seruni…anakku! Ini ibu dan ayahmu datang untuk menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari
Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu itu
merapat untuk menghimpitnya.
“Parapat… ! Parapatlah batu… ! Parapatlah!”
“Seruniiii… anakku!” sekali lagi ibu Seruni berteriak sambil menangis histeris.
Warga yang hadir di tempat itu berusaha untuk membantu. Salah seorang
warga mengulurkan seutas tampar (tali) sampai ke dasar lubang, namun
tampar itu tidak tersentuh sama sekali. Ayah Seruni semakin khawatir
dengan keadaan anaknya. Ia pun memutuskan untuk menyusul putrinya terjun
ke dalam lubang batu.
“Bu, pegang obor ini!” perintah sang ayah.
“Ayah mau ke mana?” tanya sang ibu.
“Aku mau menyusul Seruni ke dalam lubang,” jawabnya tegas.
“Jangan ayah, sangat berbahaya!” cegah sang ibu.
“Benar pak, lubang itu sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang warga.
Akhirnya ayah Seruni mengurungkan niatnya. Sesaat kemudian, tiba-tiba
terdengar suara gemuruh. Bumi bergoyang dengan dahsyatnya seakan hendak
kiamat. Lubang batu itu tiba-tiba menutup sendiri. Tebing-tebing di
pinggir Danau Toba pun berguguran. Ayah dan ibu Seruni beserta seluruh
warga berlari ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri. Mereka
meninggalkan mulut lubang batu, sehingga Seruni yang malang itu tidak
dapat diselamatkan dari himpitan batu cadas.
Beberapa saat setelah gempa itu berhenti, tiba-tiba muncul sebuah
batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis dan seolah-olah
menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Masyarakat setempat
mempercayai bahwa batu itu merupakan penjelmaan Seruni yang terhimpit
batu cadas di dalam lubang. Oleh mereka batu itu kemudian diberi nama
“Batu Gantung”.
Beberapa hari kemudian, tersiarlah berita tentang peristiwa yang
menimpa gadis itu. Para warga berbondong-bondong ke tempat kejadian
untuk melihat “Batu Gantung” itu. Warga yang menyaksikan peristiwa itu
menceritakan kepada warga lainnya bahwa sebelum lubang itu tertutup,
terdengar suara: “Parapat… parapat batu… parapatlah!”Oleh karena kata
“parapat” sering diucapkan orang dan banyak yang menceritakannya, maka
Pekan yang berada di tepi Danau Toba itu kemudian diberi nama “Parapat”.
Parapat kini menjadi sebuah kota kecil salah satu tujuan wisata yang
sangat menarik di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Demikian cerita
tentang asal-usul nama kota prapat. Cerita di atas termasuk cerita
rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang
dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat buruk dari sifat putus
asa atau lemah semangat. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku
Seruni yang hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba
yang bertebing curam, namunia justru terperosok ke dalam lubang batu dan
menghimpitnya hingga akhirnya meninggal dunia.
Cerita ini ditulis oleh:Morianto pakpahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar